oleh Dio A. Pradipta
Dalam kehidupan iman kita, kasih Allah kepada manusia menjadi inti dari Firman-Nya yang agung. Kasih-Nya melampaui pengertian manusia, sebagaimana ditulis dalam Yohanes 3:16: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal…” Saya rasa kita sebagai orang percaya memahami betul: kasih yang mau menerima kita apa adanya dan kasih yang “bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia” (ay. 17). Dalam artikel ini kita mau mengenal kasih Allah lebih dalam lagi.
Natur Dari Kasih Agape: Kasih yang Tak Bersyarat
Kasih Allah, atau dikenal sebagai kasih agape, adalah kasih yang tak bersyarat. Ini adalah kasih yang tidak didasarkan pada apa yang kita lakukan, tetapi pada siapa Allah itu sendiri. Firman-Nya berkata “Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih…” Yohanes berkata bahwa Allah adalah kasih, dan orang percaya telah mengenal kasih agape itu. Ingatkah saudara ketika kita masih berada di dalam dosa, kita masih hidup jauh dari terang kasih Kristus, merasa tidak ada yang mau menerima kita: tetapi justru di titik terendah itu, kita mengalami kasih Tuhan. Di situ kita merasakan “Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Rom. 5:8). Mungkin ada yang mau mati bagi orang baik, lebih sedikit yang mau mati bagi orang benar, tetapi tidak ada yang mau mati bagi orang jahat. Tetapi Tuhan Yesus turun ke dunia, mengambil kejahatan kita dan menanggungnya di atas kayu salib.
Kasih ini terlihat jelas dalam kisah Hosea, seorang nabi yang dipanggil untuk menikahi seorang wanita yang tidak setia sebagai gambaran nyata dari kasih Allah yang setia meskipun umat-Nya sering kali berpaling. Hosea dipanggil oleh Allah untuk menikahi Gomer, seorang wanita yang tidak setia, sebagai simbol hubungan Allah dengan umat Israel yang sering kali berpaling kepada ilah lain. Meski Gomer terus-menerus mengkhianati Hosea, ia tetap diperintahkan untuk mengasihi dan menerima kembali istrinya.
Tindakan Hosea mencerminkan kasih Allah yang tak bersyarat, yang tidak bergantung pada kesetiaan umat-Nya tetapi pada karakter-Nya yang penuh kasih dan setia. Paulus menulis mengenai kesetiaan Tuhan seperti ini, “jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya” (2 Tim. 2:13). Penggenapan kasih ini terwujud saat Allah berkata kepada nabi Hosea: "Pergilah lagi, cintailah perempuan yang suka bersundal dan berzinah, seperti TUHAN juga mencintai orang Israel, sekalipun mereka berpaling kepada allah-allah lain” (Hos. 3:1). Sekalipun bangsa Israel sudah melacurkan dirinya kepada ilah-ilah lain, Allah tetap memilih untuk setia kepada janji-Nya dan kembali menerima Israel.
Itulah kasih agape Allah: kasih yang tidak menyerah meskipun adanya pengkhianatan dan ketidaksetiaan. Allah menggunakan pernikahan Hosea sebagai ilustrasi kuat untuk menunjukkan bahwa kasih-Nya kepada Israel tidak pernah berakhir, bahkan ketika mereka meninggalkan-Nya untuk mengejar ilah-ilah lain. Melalui Hosea, Allah menegaskan komitmen-Nya untuk memulihkan umat-Nya, mengampuni dosa-dosa mereka, dan membawa mereka kembali ke dalam hubungan yang benar dengan-Nya. Kasih ini tidak bersyarat, melainkan diberikan dengan pengorbanan dan kerinduan untuk menyelamatkan.
Bahkan sejak awal bangsa Israel keluar dari tanah Mesir, itupun semata-mata karena Allah mengasihi mereka. Tuhan berkata “Bukan karena lebih banyak jumlahmu dari bangsa manapun juga, maka hati TUHAN terpikat olehmu dan memilih kamu--bukankah kamu ini yang paling kecil dari segala bangsa? 8 tetapi karena TUHAN mengasihi kamu…” (Ul. 7:7-8). Biarlah ini menjadi kekuatan bagi setiap kita yang bergumul dengan penerimaan diri dan merasa bahwa Allah jauh dari kita: yakinlah, bahwa Allah mengasihimu! Allah tahu betul bahwa manusia memiliki banyak kelemahan “Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu” (Maz. 103:14).
Kasih Allah yang Mendidik Kita
Jangan salah paham! Kasih Allah yang tanpa syarat itu bukan berarti Dia tidak berbuat apa-apa ketika kita terus menerus hidup di luar kehendak-Nya. Sebagai Bapa yang baik, “Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak” (Ibr. 12:6). Kasih Allah membuat-Nya tidak rela anak-anak-Nya hidup terus di dalam kubangan dosa, Allah sebagai Bapa akan mendidik anak-anak-Nya. Dan itulah yang diberitakan oleh nabi-nabi dalam Perjanjian Lama.
Saya ingin kita melihat contoh bagaimana Allah menegur bangsa Israel dengan keras, tetapi juga Dia menunjukkan kasih-Nya yang tak bersyarat itu:
Nabi Yeremia dipanggil untuk menegur umat Israel karena penyembahan berhala dan ketidaksetiaan mereka kepada Allah. Salah satu contoh teguran Yeremia adalah dalam Yeremia 2:13, "Sebab dua kali umat-Ku berbuat jahat: mereka meninggalkan Aku, sumber air yang hidup, untuk menggali kolam bagi mereka sendiri, yakni kolam yang bocor, yang tidak dapat menahan air." Namun, di tengah-tengah koreksi ini, kasih Allah tetap nyata. Dalam Yeremia 31:3, Allah menyatakan, "Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu." Ini menunjukkan bahwa meskipun Israel berbuat dosa, Allah terus memanggil mereka untuk kembali dengan kasih-Nya yang kekal.
Nabi Nahum dipanggil untuk mengoreksi kejahatan Niniwe dan Yehuda saat itu. Nahum bernubuat “Sekarang, Aku akan mematahkan gandarnya dari bahumu, dan memutus belenggu-belenggumu. TUHAN telah memutuskan tentang engkau, ‘Tidak akan ada lagi keturunan dengan namamu…” (Nah. 1:13-14). Tetapi di tengah-tengah nubuatan yang keras itu, Allah juga berkata “TUHAN itu baik; tempat perlindungan pada waktu kesusahan; Ia memperhatikan orang-orang yang berlindung pada-Nya” (ay. 7).
Apa yang dapat kita pelajari dari sini? Koreksi dalam nubuat sering kali disalahartikan sebagai penghukuman padahal itu adalah ungkapan kasih Allah. Seperti seorang ayah yang mengoreksi anaknya karena cinta (Ibrani 12:6), Allah menggunakan nubuat untuk membawa umat-Nya kembali ke jalan-Nya. Di sini kita melihat sebuah dinamika kekudusan dan kasih Allah. Di satu sisi Dia adalah Allah yang kudus dan adil, tetapi di satu sisi Dia adalah Allah yang maha pengasih dan pengampun. Tidak heran Daud berkata tentang Allah "Tidak dilakukan-Nya kepada kita setimpal dengan dosa kita, dan tidak dibalas-Nya kepada kita setimpal dengan kesalahan kita” (Maz. 103:10). Saya percaya anugerah Allah berjalan berdampingan dengan keadilan-Nya.
Gereja Dipanggil Untuk Mengekspresikan Kasih Allah
Bagaimana komunitas orang percaya sekarang harus hidup dengan fakta kasih tak bersyarat ini? Gereja dipanggil untuk menjadi saluran kasih Allah kepada dunia, dimana setiap tindakan dan kata-kata kita perlu mencerminkan kasih Allah yang mengundang orang untuk bersekutu dengan diri-Nya. Sudahkah saudara merenungkan kasih Allah lewat Firman-Nya hari ini? Sebelum kita berkata “Ah mustahil untuk saya bisa mengasihi seperti Tuhan Yesus!” Sudahkah kita hari ini merenungkan kasih-Nya dalam Firman-Nya?
Kedua, kita diminta untuk melatih diri kita mengasihi sesama komunitas orang percaya dan pada akhirnya dunia ini. Firman Tuhan berkata “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus” (Gal. 6:2). Cara kita melatih diri untuk hidup dalam kasih agape itu adalah saling bertolong-tolongan menanggung beban hidup sesama kita. Jangan lupa “marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (ay. 10). Dengan cara itu kita bisa mengekspresikan kasih Allah yang tak bersyarat kepada dunia ini.
コメント